A. Kepailitan dan Pengadilan Niaga
Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha yang mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada 24 Juli 1998. Undang Undang Kepailitan merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 384. Undang Undang Kepailitan diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang.
Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan
kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Umum. Dalam hal ini seseorang yang merasa sudah tidak
mampu lagi membayar hutang yang telah ia pinjam dan untuk menyelesaikannya
adalah dengan mengajukannya pengadilan niaga yang nantinya akan menyatakan
seseorang itu pailit jika tak mampu lagi membayar dan akan mencari jalan keluar
dari masalah kepailitan tersebut. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun
1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan,
dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah
kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan
lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi persimpangan dengan kompetensi
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pemeriksaan perkara, teruama
perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK, kewenangan mutlak
(kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit
dialihkan ke Pengadilan Niaga.
Dasar pertimbangan dibentuknya Pengadilan Niaga adalah
karena pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia dan
Indonesia sendiri sejak bulan Juli 1997 yang mengakibatkan masyarakat banyak
yang kesulitan dalam hal ekonomi, termasuk mengenai penyelesaian masalah utang
yang hams dilakukan secara cepat dan efektif Selain itu, hal yang menjadi
alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu dibentuk adalah keadaan ekonomi Indonesia
saat itu yang diperkirakan mengalami lonjakan besar yang memunculkan banyaknya
kasus kepailitan. Pengadilan niaga ini mewujudkan aturan main yang menjaga
kepentingan pihak-pihak yang berpiutang dan yang memiliki utang secara seimbang
dan adil, adanya mekanisme penyelesaian yang cepat dan transparan serta
implementasi yang efektif. Dalam dunia usaha sangat mengharap Pengadilan Niaga
mampu menyelesaikan perkara yang masuk secara cepat, transparan, dan adil.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab
baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus
ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif.
Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan
pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok
kekuasaan kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan
dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab
tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari
Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada
setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga”
karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa
Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum.
Pengadilan Niaga Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan
Niaga ini pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280,
sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300.
Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan
Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut:
1)
Memeriksa dan memutuskan permohonan
pernyataan pailit;
2)
Memeriksa dan memutus permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3)
Memeriksa perkara lain di bidang
perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa
di bidang HaKI.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur
tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang
mengadung klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak
yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat kepailitan. Ketentuan
pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para
pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula
arbitrase. Jadi disini jelas bahwa fungsi dan peran pengadilan Niaga adalah
adalah memutus persengketaan tentang masalah Kepailitan dan HaKI yang diajukan
masyarakat kepada Pengadilan Niaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar